Panam City (ANTARA News) - Guru besar jurusan Kimia F-MIPA ITS Surabaya, Prof RY Perry Burhan menyatakan, luapan lumpur di kawasan eksplorasi Lapindo Brantas Inc terjadi akibat adanya salah prosedur.
"Lapindo tidak salah dalam eksplorasi, karena di bawah permukaan tanah memang benar ada minyak yang dicari," kata mantan anggota tim bawah permukaan ITS untuk penanganan lumpur panas itu kepada ANTARA News di Surabaya, Selasa.
Bahkan, katanya, Lapindo sebenarnya sudah mengetahui adanya "diapir" (rongga gelembung di perut bumi), sehingga pengeboran harus menghindari "diapir". Sebab bila pengeboran minyak dilakukan tepat di atasnya akan terjadi luapan.
"Tapi, Lapindo tidak tahu ada dimana titik diapir itu, apalagi Lapindo tidak menggunakan casing. Padahal, dua hari sebelumnya (27/5/2006) terjadi gempa di Jogjakarta," katanya mengungkapkan.
Menurut guru besar bidang Geo Kimia Organik itu, luapan lumpur yang terjadi sangat mungkin akibat gesekan dari gempa Jogjakarta, namun hal itu takkan terjadi bila Lapindo melakukan pengeboran dengan menggunakan casing (selubung).
"Pengeboran tanpa casing untuk permukaan bawah tanah yang memiliki diapir akan berbahaya," katanya.
Ia mengatakan, lumpur panas akan terhambat untuk meluap ke atas bila pengeboran Lapindo menggunakan casing saat melakukan pengeboran.
"Tanpa adanya casing membuat lumpur yang berasal dari endapan darat dari kedalaman 4.000-6.000 kaki itu, akhirnya meluap dari rongga di kawasan yang banyak memiliki patahan itu," katanya menjelaskan.
Secara geologis, katanya, Lapindo tidak salah dalam melakukan eksplorasi. Namun, Lapindo secara teknis telah melakukan salah prosedur, karena sudah mengetahui adanya "diapir" di kawasan itu.
Senada dengan itu, Ketua Pusat Studi Bencana (PSB) LPPM ITS Surabaya, Dr Amin Widodo mengemukakan, banyak peneliti asing seperti dari Inggris dan Norwegia menyimpulkan, penyebab lumpur panas di Porong merupakan akibat dari proses pengeboran yang tepat di titik "diapir."
"Titik diapir itu akan menyembur (meluap) dengan sendirinya bila terjadi gesekan dan tekanan. Tapi belum tentu terkait dengan gempa di Yogyakarta, karena gempa Jogjakarta pada 27 Mei 2006 berjarak jauh dari lumpur Lapindo yang muncul pada 29 Mei 2006," katanya.
Lapindo dalam keterangan pers pada 15 Juni 2006 menyatakan, pihaknya mengebor sumur Banjar-Panji-1 dengan memasang casing hingga kedalaman 3.580 kaki, namun mulai kedalaman 3.580 sampai 9.297 kaki "belum" memasang casing.
Rencananya, casing akan dipasang di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan formasi Kujung dengan titik temu di kedalaman 9.297 kaki.
Menurut Andang Bachtiar dari IAGI, pihaknya tidak mengenal teknik pengeboran lapisan bumi dengan menembus lapisan terlebih dulu dan setelah tembus (terbuka) lalu casing diturunkan untuk menahan lubang agar tidak runtuh.
"Teknik seperti itu tidak dikenal, apalagi surat Medco (pemegang saham) nomer MGT-088/JKT/06 sudah bocor ke media massa bahwa Medco pada 18 Mei 2006 sudah mengingatkan Lapindo (operator) untuk konsisten pada program, yaitu memasang casing 9-5/8 inchi di kedalaman 8.500 kaki (melindungi lubang 3.580-8.500 kaki)," katanya.
"Lapindo tidak salah dalam eksplorasi, karena di bawah permukaan tanah memang benar ada minyak yang dicari," kata mantan anggota tim bawah permukaan ITS untuk penanganan lumpur panas itu kepada ANTARA News di Surabaya, Selasa.
Bahkan, katanya, Lapindo sebenarnya sudah mengetahui adanya "diapir" (rongga gelembung di perut bumi), sehingga pengeboran harus menghindari "diapir". Sebab bila pengeboran minyak dilakukan tepat di atasnya akan terjadi luapan.
"Tapi, Lapindo tidak tahu ada dimana titik diapir itu, apalagi Lapindo tidak menggunakan casing. Padahal, dua hari sebelumnya (27/5/2006) terjadi gempa di Jogjakarta," katanya mengungkapkan.
Menurut guru besar bidang Geo Kimia Organik itu, luapan lumpur yang terjadi sangat mungkin akibat gesekan dari gempa Jogjakarta, namun hal itu takkan terjadi bila Lapindo melakukan pengeboran dengan menggunakan casing (selubung).
"Pengeboran tanpa casing untuk permukaan bawah tanah yang memiliki diapir akan berbahaya," katanya.
Ia mengatakan, lumpur panas akan terhambat untuk meluap ke atas bila pengeboran Lapindo menggunakan casing saat melakukan pengeboran.
"Tanpa adanya casing membuat lumpur yang berasal dari endapan darat dari kedalaman 4.000-6.000 kaki itu, akhirnya meluap dari rongga di kawasan yang banyak memiliki patahan itu," katanya menjelaskan.
Secara geologis, katanya, Lapindo tidak salah dalam melakukan eksplorasi. Namun, Lapindo secara teknis telah melakukan salah prosedur, karena sudah mengetahui adanya "diapir" di kawasan itu.
Senada dengan itu, Ketua Pusat Studi Bencana (PSB) LPPM ITS Surabaya, Dr Amin Widodo mengemukakan, banyak peneliti asing seperti dari Inggris dan Norwegia menyimpulkan, penyebab lumpur panas di Porong merupakan akibat dari proses pengeboran yang tepat di titik "diapir."
"Titik diapir itu akan menyembur (meluap) dengan sendirinya bila terjadi gesekan dan tekanan. Tapi belum tentu terkait dengan gempa di Yogyakarta, karena gempa Jogjakarta pada 27 Mei 2006 berjarak jauh dari lumpur Lapindo yang muncul pada 29 Mei 2006," katanya.
Lapindo dalam keterangan pers pada 15 Juni 2006 menyatakan, pihaknya mengebor sumur Banjar-Panji-1 dengan memasang casing hingga kedalaman 3.580 kaki, namun mulai kedalaman 3.580 sampai 9.297 kaki "belum" memasang casing.
Rencananya, casing akan dipasang di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan formasi Kujung dengan titik temu di kedalaman 9.297 kaki.
Menurut Andang Bachtiar dari IAGI, pihaknya tidak mengenal teknik pengeboran lapisan bumi dengan menembus lapisan terlebih dulu dan setelah tembus (terbuka) lalu casing diturunkan untuk menahan lubang agar tidak runtuh.
"Teknik seperti itu tidak dikenal, apalagi surat Medco (pemegang saham) nomer MGT-088/JKT/06 sudah bocor ke media massa bahwa Medco pada 18 Mei 2006 sudah mengingatkan Lapindo (operator) untuk konsisten pada program, yaitu memasang casing 9-5/8 inchi di kedalaman 8.500 kaki (melindungi lubang 3.580-8.500 kaki)," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar